Beranda | Artikel
Meraih Cinta Allah Dengan Zuhud
Senin, 1 Juni 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary

Meraih Cinta Allah Dengan Zuhud adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Aktualisasi Akhlak Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada 09 Syawal 1441 H / 01 Juni 2020 M.

Ceramah Agama Islam Tentang Meraih Cinta Allah Dengan Zuhud

Zuhud adalah salah satu akhlak seorang muslim. Yaitu dia memilih hidup zuhud untuk meraih cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya dapat kita raih cintaNya dengan menjauhi cinta dunia. Dua perkara yang tidak akan bisa bersatu dalam satu waktu yaitu mencintai dunia dan mencintai Allah. Kadang-kadang itu tidak bertemu. Kita dihadapkan suatu pilihan, kita terpaksa untuk memilih antara mencintai Allah dan mencintai dunia. Oleh karena itu salah satu penyakit yang menimpa hati manusia adalah hubbud dunya, cinta kepada dunia yang menghalangi cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh karena itu seorang muslim menanamkan sifat zuhud ini pada dirinya. Terutama kedalam hatinya. Zuhud itu adalah terbebasnya hati seorang mukmin dari belenggu dunia sehingga segala upayanya tercurahkan untuk meraih kemuliaan akhirat. Itulah pengertian zuhud. Yaitu membebaskan hati dari belenggu dunia. Sehingga segala potensi yang kita miliki kita gunakan untuk meraih kemuliaan akhirat. Maka zuhud kadang-kadang tidak identik dengan status seseorang itu kaya. Orang kaya juga bisa zuhud. Yaitu orang kaya yang menggunakan kekayaannya untuk meraih kemuliaan akhirat. Dia tidak mencintai dunia. Harta yang dimilikinya dia gunakan itu untuk meraih kemuliaan akhirat. Oleh karena itu ada Nabi yang kaya, ada Nabi yang menjadi Raja. Seperti Nabi Sulaiman, tidak ada yang memiliki kekayaan seperti Sulaiman. Tapi beliau adalah orang yang zuhud, beliau tidak tertipu, terpedaya dengan harta kekayaan yang beliau miliki. Tapi beliau gunakan itu untuk tunduk kepada Allah dan untuk meraih kemuliaan akhirat.

Jadi tidak selalu identik bahwa kalau kaya tidak bisa zuhud. Kalau zuhud itu harus miskin, tidak. Itu asumsi yang keliru. Oleh karena itu Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu atau menyingkirkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat bagi urusan akhirat. Kalau itu tidak ada manfaatnya bagi urusan akhirat kita, maka disingkirkan. Sehingga hidup seseorang itu betul-betul maksimal, optimal untuk kepentingan akhiratnya. Apapun status yang dia miliki, sebagai orang miskin kah ataupun sebagai orang kaya.

Walaupun berstatus sebagai orang kaya, untuk meraih zuhud itu adalah perkara yang berat. Tidak seperti orang miskin. Akan tetapi baik si miskin maupun si kaya berpeluang untuk memiliki sifat ini. Orang yang mampu bersikap zuhud akan terpancar darinya sifat berikutnya yang lahir dari sifat zuhud itu. Yaitu sifat Qanaah.

Sifat Qanaah buah dari zuhud

Sifat qanaah itu adalah merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan dan dapat memfokuskan diri untuk meraih keutamaan-keutamaan akhirat. Kadang-kadang orang yang diberi harta sibuk dengan hartanya sehingga tidak bisa memfokuskan diri untuk meraih keutamaan-keutamaan akhirat. Kesibukannya selalu berkutat dan bergelut tentang dunia dan dunia, habis waktunya untuk itu saja. Sehingga dia teralihkan dari meraih keutamaan-keutamaan akhirat. Berarti orang ini tidak qanaah.

Orang yang qanaah, dia merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan lalu dia singkirkan itu dan dia fokus untuk meraih keutamaan-keutamaan akhirat. Ini orang yang bijaksana, ini orang yang cerdas. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa zuhud terhadap dunia adalah salah satu faktor penting untuk meraih cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana kita sebutkan, kadang-kadang mencintai Allah dan mencintai dunia itu dua perkara yang tidak bisa bersatu seperti air dan minyak. Harus memilih antara salah satu dari keduanya.

Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi meriwayatkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah bahwa suatu ketika ada seorang laki-laki meminta kepada Nabi: “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang apabila aku amalkan niscaya amal itu membuat diriku dicintai Allah dan dicintai oleh semua manusia.”

Ini suatu pertanyaan permintaan yang luar biasa. Laki-laki kepada Nabi ditunjukkan sebuah amalan yang menggabungkan dua perkara cinta; cinta Allah kepada dirinya dan cinta manusia kepada dirinya. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:

ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ

“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan orang lain (yaitu qanaah-lah kamu, jangan tunjukkan ketamakan terhadap apa yang ada di tangan orang lain) niscaya mereka akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah)

Karena orang tamak itu akan lahir darinya sifat hasad, kebencian, kemarahan terhadap orang lain yang mungkin Allah beri kekayaan dan harta tidak kepada dirinya. Maka ini akan menumbuhkan kebencian dalam hatinya kepada manusia dan manusia tentunya akan membencinya.

Oleh karena itu:

ازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ

“Zuhudlah kamu terhadap apa yang ada di tangan orang lain, niscaya orang-orang akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah)

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengarahkannya kepada sifat zuhud. Baik itu zuhud terhadap dunia maupun zuhud terhadap rezeki orang lain. Dan dua-duanya adalah perkara yang sangat penting. Memiliki sifat zuhud terhadap dunia dan zuhud terhadap apa yang ada di tangan orang lain.

Disamping itu, zuhud adalah faktor terbesar yang akan melahirkan kebaikan bagi siapa saja yang memiliki sifat tersebut. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Amr, dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan dihasankan oleh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’, Nabi bersabda:

صَلَاح أول هَذِه الْأمة بالزهد وَالْيَقِين وَيهْلك آخرهَا بالبخل والأمل

“Kebaikan generasi pertama umat ini lahir dari sifat zuhud dan yakin. Adapun kehancuran generasi akhir umat ini adalah akibat dari kebakhilan dan panjang angan-angan.” (HR. Ahmad)

Bakhil dan panjang angan-angan adalah dua keburukan yang apabila berkumpul pada diri seseorang, maka akan membuatnya binasa. Yaitu bahil dan panjang angan-angan. Dan dua perkara yang membawa kebaikan bagi generasi-generasi terdahulu (Salaf) kita adalah kezuhudan mereka dan keyakinan mereka terhadap janji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahwa janji Allah itu benar, apa yang Allah janjikan berupa kemenangan, surga dan kenikmatan di akhirat adalah benar. Itu keyakinan yang paling pokok yang menumbuhkan semangat untuk beramal. Demikian juga sifat zuhud terhadap dunia yang membuat mereka selamat dari sifat tamak. Inilah yang menyelamatkan dan membawa kebaikan bagi generasi Salaf kita, generasi pertama umat ini. Lahir dari dua sifat tersebut. Dan seorang mukmin yang sejati menyadari bahwa kehidupan dunia ibarat medan pertempuran, bukan tempat pelampiasan segala keinginan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ

“Dunia itu adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir.” (HR. Muslim)

Ini adalah perumpamaan, bukan kita sengaja menyengsarakan diri di dunia, tidak, bukan itu maksud hadits tersebut. Ini adalah suatu perumpamaan. Ibarat penjara bagi orang mukmin dan ibarat surga bagi orang kafir. Dari siapa? Yaitu dari sisi melampiaskan hawa nafsu. Orang mukmin tidak bisa semena-mena melampiaskan dan mengikuti hawa nafsunya di dunia. Karena dia ada batasan halal haram, itu mukmin. Maka dia seperti orang yang dipenjara, ditahan, tidak bebas untuk berbuat, tidak bebas untuk melampiaskan keinginan, itu orang mukmin di dunia.

Adapun bagi orang kafir, dunia ini laksana surga. Kadang tidak kenal halal haram, tidak ada perintah dan larangan, berbuat sesuka hati, semaunya, tidak mengindahkan perintah-perintah Allah, kewajiban-kewajiban agama, melampiaskan hawa nafsunya, maka hidup mereka bagaikan di surga yang tidak ada larangan di surga, tidak ada halal haram di surga, semuanya halal, semuanya boleh, bebas melampiaskan hawa nafsu di surga.

Tapi di dunia, tentunya tidak seperti itu bagi mukmin. Tapi bagi kafir, mereka memperlakukan dunia itu seperti laksana surga. Tidak ada larangan, tidak ada batasan.

Maka dari itu mukmin menyadari bahwa dunia bukanlah tempat untuk melampiaskan segala sesuatu, segala keinginan, ada batas-batas, ada rambu-rambu yang harus diperhatikan, ada aturan-aturan agama, itulah agama. Kita hidup di dunia ini beragama. Artinya ada halal haram, ada perintah dan larangan, ada hak-hak yang harus kita tunaikan, ada kewajiban-kewajiban yang harus kita laksanakan. Tidak bisa kita melakukan sesuka hati kita. Begitulah seorang mukmin.

Seperti seorang musafir

Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa ia pernah mendapatkan pesan berharga dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Haditsnya sahih diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari. Bahwa suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memegang kedua pundaknya seraya bersabda:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ.

“Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang berpergian.”

Ini menunjukkan kondisi seorang mukmin dalam mengarungi kehidupan dunia. Seperti seorang musafir yang tidak berniat untuk bermukim di tempat persinggahannya. Seperti menyebrang jembatan, maka tidak ada yang berniat untuk tinggal dan hidup di kolongnya. Mungkin cuma orang-orang yang tidak punya tempat tinggal atau tunawisma (gelandangan) yang berniat seperti itu. Tapi seorang mukmin, ia akan menyeberanginya, dia akan melintas, dia tidak berniat untuk bermukim di situ. Demikianlah seorang mukmin ketika melintasi dunia, dia seperti seorang musafir atau seorang yang melintas. Sebentar akan dia tinggalkan semua dibelakang. Seperti itu perumpamaan yang disampaikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Abdullah Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.

Itulah alasan mengapa Abdullah bin Umar berpesan kepada sesama muslim pada masanya. Lanjutan dari hadits tersebut:

إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ،

“Jika kamu berada pada waktu sore, jangan pernah mennda beramal hingga datang waktu pagi. Jika kamu berada di waktu pagi jangan pernah menunda amal hingga datang waktu sore.”

خُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ

“Isilah masa sehatmu dengan persiapan untuk menghadapi masa sakitmu.”

وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

“Dan jadikanlah hidupmu sebagai persiapan untuk menyambut kematian.”

Cintailah karena Allah

Bahwa manusia akan pergi dan itu yang kita saksikan setiap hari. Manusia datang dan pergi silih berganti. Seperti orang-orang yang ada di sekitar kita pergi, kita juga akan pergi. Tinggal tunggu giliran dan ajalnya. Maka orang yang bijak, dia gunakan waktu sebaik-baiknya di dunia. Tidak ada waktu baginya untuk mencintai dunia itu berlebihan sehingga membuat hatinya tersiksa. Karena mencintai sesuatu selain Allah akan membuat kita sakit dan tersiksa, teradzab. Kecuali kita mencintai sesuatu itu karena Allah. Barulah kita lepas dan selamat dari rasa sakitnya. Apabila kita mencintai sesuatu bukan karena Allah, mencintai dunia berlebihan, maka itu akan menjadi sumber petaka dan sumber rasa sakit bagi seseorang.

Kita tahu, hanya ada dua kemungkinan. Allah mencabut yang kita cintai itu dari kita, atau Allah Subhanahu wa Ta’ala mengambil kita. Dan akan terjadilah yang namanya perpisahan. Dan perpisahan itu adalah suatu yang sangat menyakitkan. Apalagi berpisah dari sesuatu yang kita cintai sepenuh hati, bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka perpisahan itu sangat menyakitkan.

Maka ketika seseorang itu mencintai sesuatu karena Allah, dia akan terbebas dari rasa sakit mencintai sesuatu. Tetapi apabila dia mencintai sesuatu bukan karena Allah, apalagi berlebih-lebihan, maka itu akan membuat adzab pada dirinya, pada hatinya. Satu waktu kelak itu akan menjadi sebab dan sumber dari rasa sedihnya.

Tingkatan Zuhud

Imam Ahmad Ibnu Hambal Rahimahullah membagi tingkatan zuhud menjadi tiga.

1. Zuhud meninggalkan hal-hal yang diharamkan

Inilah adalah sesuatu yang memang wajib. Ini adalah zuhudnya orang-orang awam. Zuhud tingkatan pertama yang paling dasar adalah meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan yang memang sudah seharusnya ditinggalkan karena itu diharamkan. Ada sebagian orang yang memang meninggalkan perkara yang haram itu sebuah prestasi, berat baginya. Dan dia perlu zuhud untuk meninggalkan itu. Nah itulah dia zuhud orang-orang awam. Yaitu zuhud kebanyakan manusia.

Misalnya riba, itu perlu zuhud. Kalau tidak zuhud, ada orang yang sudah keluar dari riba namun kembali lagi. Itu perlu kezuhudan di situ. Tapi ingat, ini zuhud tingkat dasar. Karena memang sudah seharusnya kita meninggalkan riba. Karena itu adalah pengumuman perang melawan Allah dan RasulNya, luar biasa. Tetapi kadang-kadang sebagian manusia perlu kezuhudan yang ekstra keras untuk dapat melakukannya, untuk dapat meninggalkan perkara yang haram tersebut.

2. Zuhud dengan tidak berlebihan dalam melakukan hal-hal yang dihalalkan/mubah

Ini tingkatannya agak tinggi sedikit. Yaitu zuhud dengan tidak berlebihan dalam melakukan hal-hal yang mubah (boleh). Ini adalah zuhud orang-orang yang lebih khusus. Misalnya zuhudnya para penuntut ilmu meninggalkan hal-hal mubah. Orang-orang mungkin bersenang-senang, mereka zuhud di majelis ilmu. Bersenang-senang, pelesiran, itu boleh. Orang-orang sibuk menyantap makan, dia membaca buku. Makan mubah, tapi dia mengutamakan membaca buku. Sehingga tidak ada alasan bagi mereka.

Bagi sebagian orang awam, tentunya untuk meninggalkan perkara yang mubah ini adalah perkara yang berat. Apalagi itu enak, cocok dengan hawa nafsu. Adapun seorang penuntut ilmu, mereka meninggalkan hal-hal yang mubah dan lebih mengutamakan hal-hal yang sulit. Mereka duduk di majelis ilmu, sementara orang lain jalan-jalan mungkin. Jadi mereka mendahulukan perkara-perkara yang utama dengan meninggalkan perkara-perkara yang mubah.

3. Zuhud dengan meninggalkan segala sesuatu yang dapat memalingkan dirinya dari mengingat Allah

Ini adalah zuhud yang lebih tinggi lagi. Ini adalah zuhud para wali-wali Allah, orang-orang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu zuhud dengan meninggalkan segala sesuatu yang dapat memalingkan dirinya dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ini lebih tinggi lagi tingkatannya. Jadi segala hal-hal yang dapat memalingkannya dari Allah, dia singkirkan. Ini luar biasa. Seperti Umar yang pernah menjual kebunnya karena kebun itu memalingkannya dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Melepas dunia yang dapat mengganggu seseorang di dalam mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Nabi pernah mengembalikan sesuatu karena itu dapat menghambat beliau untuk khusyu’ di dalam shalat. Ini adalah satu tingkatan zuhud yang lebih tinggi.

Simak pembahasan yang penuh manfaat pada menit ke-26:41

Download MP3 Kajian Meraih Cinta Allah Dengan Zuhud

Download mp3 yang lain tentang Aktualisasi Akhlak Muslim di sini.


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48502-meraih-cinta-allah-dengan-zuhud/